Sabtu, 07 Januari 2017

Sikap Nabi terhadap Orang Yang Ekspresikan Cinta

Kapan[kah] Muhammad mengharamkan cinta,
Dan apakah ia menghina umatnya yang jatuh cinta.
Janganlah kau berlagak mulia,
Dengan menyebut cinta sebagai dosa.
Syair Ibnu Hazm (Di Bawah Naungan Cinta, hlm. 83) yang menyindir orang-orang yang melecehkan cinta tersebut mengingatkan saya pada sebuah hadits hasan dari Ibnu Abbas r.a. yang diriwayatkan oleh Thabrani (dalam Majma’ az-Zawâid 6: 209). Seperti yang saya ungkap kembali di bawah ini, Rasulullah saw. pun pernah menyindir beberapa sahabat yang memandang rendah sepasang pria-wanita yang saling jatuh cinta.
***
Nabi saw. mengirim satu pasukan [shahabat], lalu mereka memperoleh rampasan perang yang di antaranya terdapat seorang tawanan laki-laki.
[Sewaktu interogasi], ia berkata, “Aku bukanlah bagian dari golongan mereka [yang memusuhi Nabi]. Aku hanya jatuh cinta kepada seorang perempuan, lalu aku mengikutinya. Maka biarlah aku memandang dia [dan bertemu dengannya], kemudian lakukanlah kepadaku apa yang kalian inginkan.”
Lalu ia dipertemukan dengan seorang wanita [Hubaisy] yang tinggi berkulit coklat. Lantas [si lelaki yang jatuh cinta itu] bersyair kepadanya:
Wahai dara Hubaisy!
Terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu!
Sudilah dikau kuikuti dan kutemui di suatu rumah mungil atau di lembah sempit antara dua gunung!
Tidak benarkah orang yang dilanda asmara berjalan-jalan di kala senja, malam buta, dan siang bolong?
Perempuan itu menjawab, “Baiklah, kutebus dirimu.”
Namun, mereka [para shahabat itu] membawa pria itu dan menebas lehernya. Lalu datanglah wanita itu, lantas ia jatuh di atasnya, dan menarik nafas sekali atau dua kali, kemudian meninggal dunia.
Setelah mereka bertemu Rasulullah saw., mereka informasikan hal itu [dengan antusias] kepada beliau, tetapi Rasulullah saw. berkata [dengan sindiran tajam]: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?
***
Hadits tersebut menunjukkan adanya fenomena percintaan di luar nikah pada zaman Rasulullah saw.. Apakah beliau mengharamkannya? Apakah beliau menghina sepasang lelaki-perempuan yang saling jatuh cinta dan saling mengekspresikan cintanya?
Tidak dan tidak! Bahkan, menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, seorang ulama Ikhwanul Muslimin, “beliau menampakkan belas kasihnya kepada kedua orang yang sedang dilanda cinta itu”. (Kebebasan Wanita, Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani  Press, 1999), hlm. 75)
Memang, sebagian ahli agama tidak sependapat dengan pandangan Abu Syuqqah tersebut. Namun, saya lihat bahwa pendapat ahli agama yang menentang pandangan Abu Syuqqah itu lemah.
Anda masih ragu? Boleh. Marilah kita periksa argumentasi seorang ahli agama yang menolak pandangannya itu.
Seorang ahli agama mengemukakan: “Sebenarnya kemarahan Nabi saw. melalui pernyataannya yang halus tersebut [yakni ‘Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?’] bukan dalam kaitannya dengan cinta kasih dua orang tersebut, melainkan kemarahan beliau terhadap sahabat-sahabatnya yang bertindak ‘main hakim sendiri’.” (Anang Harris Himawan, Bukan Salah Tuhan Mengazab (Solo: Tiga Serangkai, 2007), hlm. 16)
Untuk memperkuat pendapat tersebut, si ahli agama menggunakan metode qiyas (perbandingan) terhadap sebuah hadits lainnya berikut ini.
Ketika selesai dari sebuah peperangan, para sahabat membawa tawanan untuk dijadikan tebusan. Di antara para sahabat tersebut, terdapat Khalid bin Walid, ‘Pedang Allah’. Khalid bukannya membawa tawanan ke hadapan Rasulullah, melainkan dibawa ke atas bukit. Para tawanan tersebut bertanya, ‘Bukankah kamu akan memberi kami jaminan keamanan?’ ‘Ya,’ jawab Khalid. Namun, ternyata di atas sebuah bukit, Khalid memerintahkan para tawanan tersebut meminum minuman yang ada pada sebuah mangkok yang biasa digunakan untuk memberi makan minum anjing. Selanjutnya, Khalid membunuh mereka satu per satu. Para sahabat yang mengetahui segera melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Lalu, Rasulullah menjawab, “Khalid belum bisa meninggalkan ‘kebiasaan jahiliah’-nya.” (Bukan Salah Tuhan Mengazab, hlm. 16)
Demikianlah hadits yang dijadikan landasan qiyas (pembandingan) ini. Masalahnya, apakah kasus Khalid tersebut dapat di-qiyas-kan (disebandingkan) 100% dengan kasus pada hadits riwayat Thabrani di atas? Mari kita telaah.
Memang, pada kasus Khalid itu ada kesamaan dengan hadits riwayat Thabrani di atas. Keduanya sama-sama menceritakan adanya tindakan ‘main hakim sendiri’. Sayangnya, pembandingan yang dilakukan oleh Anang Harris Himawan ini berhenti sampai di sini. Padahal, ada perbedaan yang signifikan pada dua peristiwa di dua hadits tersebut.
Sebelum melakukan pembandingan dengan lebih mendalam untuk mengenali perbedaannya, si ahli agama sudah menyimpulkan, “Maksud yang tersirat dari pernyataan Nabi saw. tersebut kurang lebih adalah, ‘Mengapa mereka dibunuh, sementara mereka perlu diadili atas kesalahannya [lebih] dahulu?‘” (Bukan Salah Tuhan Mengazab, hlm. 16)
Padahal, justru pada maksud yang tersirat inilah terdapat perbedaan yang signifikan. Perhatikanlah bahwa pada kasus Khalid bin Walid, tawanan itu dibunuh sebelum diadili. Sedangkan pada hadits riwayat Thabrani di atas, jelas terlihat bahwa si tawanan dihukum mati sesudah diadili (diinterogasi dan seterusnya).
Ternyata, pada hadits riwayat Thabrani di atas, tidak ada bukti kesalahan si tawanan. Yang terbukti hanyalah adanya ekspresi cinta antara dia dan kekasihnya. Ekspresi cinta inilah “kesalahan” si tawanan di mata para sahabat, suatu ekspresi yang ternyata tidak disalahkan oleh Nabi saw. Inilah dasar yang kuat mengapa Abu Syuqqah justru menyatakan bahwa Nabi saw. “menampakkan belas kasihnya” kepada sepasang pria-wanita yang saling ekspresikan cinta itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar